Sebuah rumah mungil di pinggiran timur Jakarta. Sebuah pagi berjalan
sebagaimana lazimnya. Asti berkubang dalam banyak pekerjaan rumah.
Arnando, seperti biasa, berkutat merampungkan lukisan di studionya.
Daster Asti tak mampu menutup seluruh kulit putih bersihnya. Tapi,
Daster itu tetap bisa menyembunyikan banyak tahi lalat di tempat-tempat
tertutup. Hanya Arnando yang tahu persis letak-letaknya.
Rambut
lebat Asti dibiarkan memanjang menjuntai di punggugnya hingga nyaris ke
pinggul. Hidungnya yang tak mancung kerap mengundang godaan Arnando.
"Tak apa-apa hidungmu pesek. Lebih baik berhidung pesek tapi dengan dua
bukit mancung dan terurus di bawahnya," kata Arnando sambil menyentuh
lembut salah satu bukit yang menjulang di dada Asti, pada sebuah pagi
yang lain.
"Lebih baik daripada apa. ?" sela Asti merajuk.
"Ya. lebih baik daripada berhidung mancung dengan dua bukit pesek tak terurus di bawahnya."
Arnando tergelak. Asti hanya tersenyum. Senyum tertahan. Adegan tersipu
seperti inilah yang sangat disukai Arnando. Karena itu, ia gemar
menggoda Asti terutama pada setiap pagi yang jadi milik mereka.
Kadang-kadang Arnando berpikir bahwa mereka memang ditakdirkan sebagai
pasangan yang saling melengkapi. Tergelak dan tersipu. Keliaran seorang
penyerang dan kelembutan sang penenang. Kebringasan seorang pemburu dan
kepasrahan korban buruan.
Asti adalah perempuan bersahaja. Selalu
nrimo. Dalam banyak hal ia bahkan cenderung naif. Yang pasti, ia
sungguh rajin mengerjakan setiap pekerjaan yang tersedia di rumah. Tak
ada bagian rumah yang tak terjamah olehnya. Setiap hari. Sepanjang
minggu. Sepanjang tahun.
Arnando membayangkan. Seperti itulah
Ibunya dulu selagi muda bekerja di rumah masa kecilnya di Yogyakarta.
Menyelesaikan semua pekerjaan rumah dengan tertata. Mengurus suami,
Ayah Arnando, yang lumayan banyak urusan. Dan mendidik enam orang anak
laki-laki yang sungguh susah diatur. Tanpa pernah mengeluh. Satu kali
pun.
Asti pun tak banyak menuntut. Menyangkut materi, permintaannya
selalu sederhana. Minta daster baru. Minta dicarikan sepatu tali yang
lebih kuat. Ketika butuh tas, ia tak minta tas kulit mahal, tapi tas
dari plastik atau kulit imitasi, asal cukup kuat untuk bepergian. Benda
sedikit berharga yang pernah dimintanya adalah radio-tape untuk di
kamar. Pernah ia minta dibelikan gelang emas 10 gram. Itupun dimintanya
dengan tersipu. Bukannya dipakai dan dipamerkan, Asti malah
menyembunyikan gelang itu di dalam laci lemarinya yang selalu terkunci.
Untuk banyak alasan, yang tentu saja disetujui Arnando, Asti memang tak
pernah memamerkan berlebihan barang-barang berharga pemberian Arnando.
Ia menyimpan dengan rapih barang-barang itu serapih menyimpan cintanya
untuk satu-satunya lelaki yang pernah menjamah tubuhnya itu.
Arnando adalah burung hantu yang setia hinggap di dahan yang sama di
tiap malam. Lelaki rumahan. Inilah pula yang disukai Asti. Arnando
selalu tersedia baginya. Setiap saat.
Dengan Arnando yang selalu
tersedia, Asti tak pernah merasa tertimbun dalam tumpukan pekerjaan.
Baginya, hari-hari di rumah adalah saat-saat menyenangkan. Ia tak
merasa terpenjara. Ia merasa seperti berdiam di sebuah istana.
Melukis adalah satu-satunya pekerjaan yang Arnando lakukan. Ia
menghabiskan sebagian besar hari-harinya di studio. Hidupnya seperti
lalu lintas di antara studionya yang berantakan, ruang makan, dan
tempat tidur.
Uang memang kadang-kadang jadi persoalan. Arnando tak
punya penghasilan rutin seperti orang kantoran. Ia sendiri tak pernah
mau mengurus keuangan. Ia tak terlalu peduli apakah uang mereka sedang
melimpah atau mereka sedang bangkrut. Untunglah, di rumah ia tak pernah
mendapat keluhan-keluhan berarti soal uang.
Untunglah pula, Arnando
termasuk produktif. Berpameran setidaknya dua kali setiap setahun. Satu
pameran tunggal dan satu lagi bersama koleganya, satu atau beberapa
pelukis lain. Dari penjualan lukisan di setiap pameran itulah ia
mendapatkan uang yang lumayan. Setidaknya, cukup untuk hidup bersahaja
sepanjang tahun.
Belakangan, ketika lukisannya mulai dilirik
kolektor, kadang-kadang uang datang sendiri bersama para pemburu
lukisannya. Ketika namanya makin banyak disebut oleh para kurator dan
peresensi seni rupa, ia sendiri jadi makin tak yakin apakah yang diburu
lukisannya atau guratan tegas namanya, "Arnando Mahoni", di sudut kanan
atau kiri bawah tiap lukisan itu.
Arnando merasa hidupnya lebih
dari cukup. Memiliki sebuah rumah mungil di pinggiran Jakarta adalah
sebuah kemewahan. Terlebih-lebih, buat Asti, ternyata rumah mungil itu
adalah sebuah istana besar yang megah.
Bisa mengatur sendiri
hidupnya, tanpa terikat oleh jam kerja atau jadwal-jadwal rutin lain,
adalah kemewahan lain milik Arnando. Ia merasa hidupnya sudah selesai
dengan dua kemewahan yang sudah digenggamnya itu.
Pagi ini, Arnando
masih berkutat dengan lukisan yang tak juga usai itu. Lukisan 1x1 meter
yang kelihatannya akan dicengkeram warna biru muram.
"Nggak sarapan dulu?"
Tiba-tiba suara Asti menyereruput punggung telinganya. Dua bilah tangan
putih melingkari pinggang Arnando. Asti merapatkan badannya di punggung
Arnando. Wangi-pagi-hari tubuh berkeringat Asti yang khas membuat
Arnando segera berbalik.
Asti dan Arnando saling merapat dalam
balutan "pakaian dinas pagi" masing-masing. Asti dalam dasternya.
Arnando dengan kaos oblong dan sarungnya. Keduanya seperti sepasang
merpati yang saling mencari pagutan di tengah puncak musim kawin.
Seperti pada pagi-pagi lainnya, setelah sebuah ciuman panjang yang tak
terputus, mereka beringsut dari studio menuju kamar di sebelahnya.
Tanpa banyak bicara. Pada pagi yang masih belia, Asti dan Arnando
bercinta. Seperti pada hampir setiap pagi lainnya. Kecuali pada akhir
pekan atau liburan. Tentu saja.
*****
Ketukan di pintu
itulah yang akhirnya membangunkan Asti dan Arnando dari letih yang
nyaris melelapkan. Jumlah dan nada ketukan itu sudah memberi tahu
keduanya siapa yang datang pagi itu.
Asti dengan sigap membereskan
tempat tidurnya. Lalu, menyelinap keluar kamar sambil meninggalkan
senyum penuh arti untuk Arnando. Semacam terima kasih yang tak terucap
untuk tiap kenikmatan yang baru saja mereka reguk. Sosoknya hilang
ditelan daun pintu, melangkah sedikit tergesa ke pintu depan.
Arnando mengenakan sarung sekenanya. Lalu, kembali ke studio di sisi kamar itu.
Sepi menyergap sesaat hingga pecah oleh suara kesibukan Asti di dapur.
Rupanya, Asti sudah melanjutkan pekerjaannya yang tertunda.
Samar-samar, Arnando mendengar langkah yang sudah sangat dikenalnya.
"Mas, berkas-berkasku tertinggal. Selalu saja begini kalo aku
terburu-buru. Ini aku belikan sarapan kesukaanmu." Suara lembut Ratih
terdengar persis di punggung Arnando.
"Makasih sayang." Arnando
mengambil kotak makanan dari tangan Ratih dan membiarkan perempuan itu
segera berbalik pergi setelah mencium bibirnya sekelebatan.
"Aku langsung buru-buru balik ke kantor lagi ya. Love you!" Suara Ratih dan tubuh rampingnya berkelebat. Lalu menghilang.
"Love you too."
Pagi sudah tak lagi belia ketika Arnando mendengar suara mesin cuci
mulai dinyalakan Asti. Sementara ia masih mematung, berdiri di depan
sang calon lukisan biru muram yang tak juga usai.
Pagi masih
belum beranjak, ketika suara mobil Ratih mulai terdengar. Lalu, melamat
makin menjauh. Arnando tahu persis, suara mobil istrinya itu akan
kembali datang kala malam bertandang kelak.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar